Karya
Nani Handayani
MAN Pangkalan Balai
Aku punya kelopak, saat ini sedang merekahnya, hingga dua sampai empat batang juluran kuncup-kuncup muda siap merekah. entah besok, atau hari ini. aku sebenarnya bukanlah penghias asli taman ini, aku hanya dipotong dari indungku lalu ditempatkan di batang tua ini. awal pertama, aku sedih berpisah dengan indungku, beliau tempat pertamaku bergantung, tempat aku belajar menjulurkan akar-akar mudaku pada kerasnya sabuk kelapa, tempat aku berlindung.
Pelan-pelan akar-akar mudaku menancap keras di serabut-serabut yang tak ada sedikitpun unsur hara, cuma mampu menampung kami agar bisa tumbuh, berkembang, merekah, dan beregenerasi. daun mudaku sudah mulai tumbuh, pertanda aku akan memulai pelajaran pertamaku untuk berkembang, ah.....akar-akarku tak pernah lelah meyerap air dari serabut-serabut yang sudah mau menanggung kami, walaupun ia jelek, tapi ia tempat bergantung hidup kami. ini kembang pertamaku ,,,bentuknya kecil, warnanya pun tak seindah warna kembang kakak-kakakku yang telah lebih dulu pengalaman dan dewasa merekahkan kuncup-kuncup anggrek yang cantik. tapi inilah aku anak bungsu, aku mesti bisa seperti kelopak anggrek yang dimiliki kakak-kakakku. walaupun kecil, tidak merona, aku berusaha untuk merekahkan kuncup-kuncupku seindah-indahnya. tak menyesal sedikitpun, tak ragu mundur sekalipun, tak merasa rendah diri.
Aha..... kuncup-kuncupku sekarang sma indahnya dengan kuncup-kuncup yang dimiliki kakak. ini jerih payahku, aku tak ragu lagi merekahkan kuncu-kuncupku membanggakan indungku yang aku tahu pasti makin lama akar-akarnya dan dedaun-dedaunnya tak akan lagi bisa merekah, menghijau, akan ada batasnya, menghijau tua, layu, lama-kelamaan busuk, kering, lalu mati.
Sekarang tugas diberikan beban kepada kakak-kakakku dan aku untuk tetap merekah. aku lupa hari apakah itu, seorang lelaki tua dan anaknya yang beranjak dewasa, melirikku terus, padahal apanya yang istimewa dari kami. kami cuma tumbuhan yang bertahan hidup dengan akar-akarnya, tinggal di serabut kelapa yang sudah padat dengan akar-akar kami, kami mesti bersaing untuk bisa menancapkan akar-akar kami agar tetap bisa hidup dan berkembang. bahkan ada kakakku yang berani memanjang sulur-sulur akarnya tinggi-tinggi hingga ia bisa mencapai dinding rumah kayu itu, ya tujuannya sederhana beralih ke alternatif lain untuk tetap bisa hidup lepas dari kukungan padatnya akar-akar anggrek yang tidak mau berbagi sedikitpun.
Mata gadis itu lekat sekali menatapku. aku berada di pucuk paling atas,. saat itu daun-daunku masih muda hijau muda tepatnya. sekali lagi mata gadis itu melirikku. lalu ia meminta perhatian ayahnya untuk sedikit melihatku, melihat tanaman anggrek yang tergantung di sudut rumah. ayah gadis itu mengamatiku, dipegangnya kar-akarku, mengamati seperti apa rupaku bila berkembang nanti.
Gawat si empunya rumah, malah memberikan persetujuan untuk memetikku. takdirku, aku dipotong dari tubuh sisa indungku aku dibungkus dalam kantong kresek hitam, aku dibawa gadis itu diapitnya aku, sekali-kali ia melihatku. aku tak tahu mau dibawa kemana, yang jelas, aku sampai di sebuah rumah. rumah itu perkarangannya penuh dengan aneka tanaman, aku kenal mereka, mereka yang dikenal berasa pedas, ya cabai...., aku tahu cabai, si pencipta sensani pedas di lidah. tanaman cabai itu mengiringiku mendongakkan kepala mereka melihat aku mau ditempatkan di mana.
Di tengah-tengah tanaman cabai, ada batang jambu tua, sudah tak berdaun, apalgi berbuah. ia dikelilingi tanaman anggrek juga. anggrek hutan ia mengenalkan dirinya. ada lgi anggrek putih entah aneh kembangnya tumbuh terbalik, seperti bentuk sayap-sayap kupu-kupu. aku diletakkan di atas mereka, aku disandarkan pada batang phonjambu tua, aku diikat dengan sabut kelapa, dan pak tua itu juga memberiku potongan-potongan arang, entah buat apa.
Kini aku jadi penghuni phon jambu tua, aku sang primadona, aku merekahkan kuncup-kuncup anggrek yang tak putus-putus, entah apakah itu musim gugur, musim kemarau sekalipun,apalgi musim hujan... tak putus semangatku merona dalam kelopak-kelopak ungguku nan cantik. aku sekarang adalah indung seperti indungku dulu yang telah lebih dulu mengecap akhir hidup. aku punya banyak anak-anak, yang sudah mampu berdiri disamping kiri, kanan, bawah, atas, atw ditempat manapun yang ditempatkan pak tua, mereka mampu berkembang.
aku menyadari terkadang, ketakutan akan memberanikan aku, mengerus jaman yang aku tak tahu mesti bagaimana
MAN Pangkalan Balai
Aku punya kelopak, saat ini sedang merekahnya, hingga dua sampai empat batang juluran kuncup-kuncup muda siap merekah. entah besok, atau hari ini. aku sebenarnya bukanlah penghias asli taman ini, aku hanya dipotong dari indungku lalu ditempatkan di batang tua ini. awal pertama, aku sedih berpisah dengan indungku, beliau tempat pertamaku bergantung, tempat aku belajar menjulurkan akar-akar mudaku pada kerasnya sabuk kelapa, tempat aku berlindung.
Pelan-pelan akar-akar mudaku menancap keras di serabut-serabut yang tak ada sedikitpun unsur hara, cuma mampu menampung kami agar bisa tumbuh, berkembang, merekah, dan beregenerasi. daun mudaku sudah mulai tumbuh, pertanda aku akan memulai pelajaran pertamaku untuk berkembang, ah.....akar-akarku tak pernah lelah meyerap air dari serabut-serabut yang sudah mau menanggung kami, walaupun ia jelek, tapi ia tempat bergantung hidup kami. ini kembang pertamaku ,,,bentuknya kecil, warnanya pun tak seindah warna kembang kakak-kakakku yang telah lebih dulu pengalaman dan dewasa merekahkan kuncup-kuncup anggrek yang cantik. tapi inilah aku anak bungsu, aku mesti bisa seperti kelopak anggrek yang dimiliki kakak-kakakku. walaupun kecil, tidak merona, aku berusaha untuk merekahkan kuncup-kuncupku seindah-indahnya. tak menyesal sedikitpun, tak ragu mundur sekalipun, tak merasa rendah diri.
Aha..... kuncup-kuncupku sekarang sma indahnya dengan kuncup-kuncup yang dimiliki kakak. ini jerih payahku, aku tak ragu lagi merekahkan kuncu-kuncupku membanggakan indungku yang aku tahu pasti makin lama akar-akarnya dan dedaun-dedaunnya tak akan lagi bisa merekah, menghijau, akan ada batasnya, menghijau tua, layu, lama-kelamaan busuk, kering, lalu mati.
Sekarang tugas diberikan beban kepada kakak-kakakku dan aku untuk tetap merekah. aku lupa hari apakah itu, seorang lelaki tua dan anaknya yang beranjak dewasa, melirikku terus, padahal apanya yang istimewa dari kami. kami cuma tumbuhan yang bertahan hidup dengan akar-akarnya, tinggal di serabut kelapa yang sudah padat dengan akar-akar kami, kami mesti bersaing untuk bisa menancapkan akar-akar kami agar tetap bisa hidup dan berkembang. bahkan ada kakakku yang berani memanjang sulur-sulur akarnya tinggi-tinggi hingga ia bisa mencapai dinding rumah kayu itu, ya tujuannya sederhana beralih ke alternatif lain untuk tetap bisa hidup lepas dari kukungan padatnya akar-akar anggrek yang tidak mau berbagi sedikitpun.
Mata gadis itu lekat sekali menatapku. aku berada di pucuk paling atas,. saat itu daun-daunku masih muda hijau muda tepatnya. sekali lagi mata gadis itu melirikku. lalu ia meminta perhatian ayahnya untuk sedikit melihatku, melihat tanaman anggrek yang tergantung di sudut rumah. ayah gadis itu mengamatiku, dipegangnya kar-akarku, mengamati seperti apa rupaku bila berkembang nanti.
Gawat si empunya rumah, malah memberikan persetujuan untuk memetikku. takdirku, aku dipotong dari tubuh sisa indungku aku dibungkus dalam kantong kresek hitam, aku dibawa gadis itu diapitnya aku, sekali-kali ia melihatku. aku tak tahu mau dibawa kemana, yang jelas, aku sampai di sebuah rumah. rumah itu perkarangannya penuh dengan aneka tanaman, aku kenal mereka, mereka yang dikenal berasa pedas, ya cabai...., aku tahu cabai, si pencipta sensani pedas di lidah. tanaman cabai itu mengiringiku mendongakkan kepala mereka melihat aku mau ditempatkan di mana.
Di tengah-tengah tanaman cabai, ada batang jambu tua, sudah tak berdaun, apalgi berbuah. ia dikelilingi tanaman anggrek juga. anggrek hutan ia mengenalkan dirinya. ada lgi anggrek putih entah aneh kembangnya tumbuh terbalik, seperti bentuk sayap-sayap kupu-kupu. aku diletakkan di atas mereka, aku disandarkan pada batang phonjambu tua, aku diikat dengan sabut kelapa, dan pak tua itu juga memberiku potongan-potongan arang, entah buat apa.
Kini aku jadi penghuni phon jambu tua, aku sang primadona, aku merekahkan kuncup-kuncup anggrek yang tak putus-putus, entah apakah itu musim gugur, musim kemarau sekalipun,apalgi musim hujan... tak putus semangatku merona dalam kelopak-kelopak ungguku nan cantik. aku sekarang adalah indung seperti indungku dulu yang telah lebih dulu mengecap akhir hidup. aku punya banyak anak-anak, yang sudah mampu berdiri disamping kiri, kanan, bawah, atas, atw ditempat manapun yang ditempatkan pak tua, mereka mampu berkembang.
aku menyadari terkadang, ketakutan akan memberanikan aku, mengerus jaman yang aku tak tahu mesti bagaimana